Minggu, 05 Mei 2013

Kesombongan dan Pembenaran Diri Ayub

Seringkali jika kita membicarakan tentang Ayub, maka yang terlintas pertama kali dalam pikiran kita adalah penderitaannya, kesalehan dan kesetiaannya dalam ujian yang dialaminya. Ayub sering dijadikan contoh teladan sebagai seorang yang tetap bertahan, setia dan sabar di dalam masa ujian besar dan tragis tersebut; namun beberapa hari ini saya kembali belajar dan mendapatkan beberapa hal yang baru dan berbeda dari kisah seorang Ayub ini.

Yang harus kita sadari bahwa Ayub benar-benar manusia biasa seperti kita. Apa yang dipikirkan dan diperkatakan sungguh wajar ketika seorang mengalami masalah dan duka yang begitu besar dan dalam rentang waktu yang sangat lama, namun batas yang Tuhan izinkan dari semua itu adalah “… tidak melebihi kekuatan manusia itu… tidak akan membiarkan kamu melampaui kekuatanmu. .. Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya”. ( I Korintus 10:13) . Ayub dikisahkan oleh Tuhan sebagai pembelajaran model bagi kita manusia bahwa pentingnya respon manusia yang perlu diubah dan sifat pikiran Tuhan yang luar biasa melalui masalah-masalah manusia yang dialami di dunia ini.

“Masalah” membuat kita menyadari bahwa kita bukanlah pengendali apa yang terjadi di sekeliling kita. Dengan “masalah”, Tuhan ingin mengeluarkan sampah-sampah di dalam pikiran perasaan kita. Bahkan dengan “masalah”, Tuhan ingin membongkar tipu daya iblis yang selama ini rapi tersembunyi di dalam diri manusia yang sekalipun dikatakan saleh, takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan sperti Ayub ini. Mungkin jika Ayub tidak diizinkan Tuhan mengalami hal ini, Ayub pun tidak menyadari kebusukan hatinya yang terdalam dan merasa “fine-fine” saja. Tentu tidak akan pernah dicatat :  “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu." (Ayub 42: 5-6).  Perkataan itulah yang menyudahi ujian yang dialaminya, sehingga Tuhan berkata “Cukup. HambaKu Ayub telah menyadarinya. Tipu daya iblis telah dibongkar dari hidupnya. Skarang waktunya Aku memulihkannya”.

Tipu daya iblis melalui Ayub:

1.  Ayub merasa dirinya sebagai seorang penyelamat atas keluarganya.  Awalnya saya tidak merasa ada hal yang aneh ketika pasal 1 ayat 5 mengatakan “Setiap kali, apabila hari-hari pesta telah berlalu, Ayub memanggil mereka, dan menguduskan mereka; keesokan harinya, pagi-pagi, bangunlah Ayub, lalu mempersembahkan korban bakaran sebanyak jumlah mereka sekalian, sebab pikirnya: "Mungkin anak-anakku sudah berbuat dosa dan telah mengutuki Allah di dalam hati." Demikianlah dilakukan Ayub senantiasa.” 

Bukankah itu bagus.. bukankah itu ciri seorang pendoa syafaat atau imam di dalam keluarga.. itu yang pertama kali saya pikirkan, namun ketika tipu daya iblis atas diri saya pun dibongkar, saya pun menyadari bahwa doa-doa dan perjuangan usaha saya atas pemulihan keluarga dan kerabat saya, bukan berarti membuat saya menjadi penolong bahkan menjadi “tuhan” buat mereka. Saya terjebak dengan pola pikir yang salah. Itu yang membuat saya malah ingin mengendalikan situasi sekitarnya. Seakan-akan sayalah yang harus maju dan menyelesaikan smua masalah yang ditimbulkan oleh orang-orang terdekat saya. Ayub saat itu seperti saya, tidak mengajarkan dan mendidik anak-anaknya untuk hidup takut akan Tuhan, namun membiarkan dirinya sebagai “superman” yang setiap kali maju membereskan semua masalah yang ditimbulkan oleh anak-anaknya.  Inilah sikap hati seorang ayah yang salah, sikap seorang kakak yang salah. Di dalam kerohanian sebagai gembala, mentor atau kakak rohani, kita pun bisa melakukan hal yang salah ini. Tidak mendidik anak-anak rohani yang kita gembalakan di dalam takut akan Tuhan adalah membodohkan mereka dalam kesesatan, membuat mereka mati secara rohani. Kisah seorang imam Eli dan anak-anaknya mungkin adalah contoh lain yang bisa kita renungkan tentang anak-anaknya yang kurang ajar dan tidak menghormati kekudusan Tuhan.

2.  Curiga dengan Tuhan dan memiliki hikmat sendiri. Ayub merasa dirinya sudah melakukan banyak hal yang benar buat Allah, sehingga tidak pantas jika ia mengalami hal seperti itu. Ia mrasa dirinya seharusnya diperjuangkan oleh Allah. Ia curiga dengan Allah tentang caraNya membuat keputusan. Keluh kesah Ayub yang mengutuki kelahirannya di pasal 3 sangatlah parah dan seakan-akan menyiratkan bahwa percuma ia hidup berbuat benar, lebih baik tidak usah dilahirkan ke dunia, lebih baik tidak ada pertolongan saat dilahirkan, lebih baik mati dan tidak mengenal Tuhan selama ini daripada ujung-ujungnya diperlakukan seperti itu. Ia marah-marah dan kecewa dengan Tuhan. Disangkanya Tuhan semena-mena.

“Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar dari kandungan? Mengapa pangkuan menerima aku; mengapa ada buah dada, sehingga aku dapat menyusu?” Ayub 3: 11-12
Pernahkah terlintas bahwa kita juga berpikir atau berkata hal serupa. “ Ga tuhan-tuhanan… Lebih baik jadi jemaat biasa aja.. Ga usah pelayanan-pelayanan.. Mundur saja…” . Kekecewaan karena tipu daya iblis menguasai pola pikir kita. Hati-hati dengan pikiran curiga dengan Tuhan. Tidak sedikit anak-anak yang diurapi Tuhan akhirnya jatuh dalam dosa pemberontakan karena curiga dengan Tuhan. Curiga kenapa Tuhan tidak seperti itu dan ini. Mengatur Tuhan dan memiliki maunya sendiri. Tuhan dikendalikan oleh sikap hati kita, dikiranya Tuhan akan manja-manja dengan kita nantinya. Kita memilih mundur, biasa-biasa atau malah hidup dalam dosa, dengan pikiran siapa tahu Tuhan tiba-tiba memanjakan kita… dan tebak siapa yang menang.. Tuhan yang akhirnya menuruti kita.. kesombongan dan keakuan kita yang menang.  Ini mental Ayub dan kita manusia. 

Ayub 7:17-21 Apakah gerangan manusia, sehingga dia Kauanggap agung, dan Kauperhatikan, dan Kaudatangi setiap pagi, dan Kauuji setiap saat? Bilakah Engkau mengalihkan pandangan-Mu dari padaku, dan membiarkan aku, sehingga aku sempat menelan ludahku? Kalau aku berbuat dosa, apakah yang telah kulakukan terhadap Engkau, ya Penjaga manusia? Mengapa Engkau menjadikan aku sasaran-Mu, sehingga aku menjadi beban bagi diriku? Dan mengapa Engkau tidak mengampuni pelanggaranku, dan tidak menghapuskan kesalahanku?.. Ini seruan sindiran kepada Tuhan.. Bagi Ayub, Tuhan terus menerus menguji manusia dalam kesengsaraan. Tidak ada enak-enaknya ikut Tuhan. Dia seakan-akan membiarkan dan tidak menolong kita… seakan-akan Tuhan suka dengan kesengsaraan kita.. Ini tipu daya iblis yang sangat jahat di dalam pikiran kita, sperti dosa pemberontakan di zaman Musa sampai Tuhan musnahkan semua orang dewasa di sana, kecuali Yosua dan Kaleb.

3. Merasa dirinya benar, tidak mau dikoreksi, tidak ada kerendahan dan kebesaran hati. Orang yang seperti ini, sepertinya segala nasihat yang kita berikan akan ditolaknya.  Orang tersebut sudah punya tolak ukur kebenaran dirinya sendiri, berakibat kuatnya pembenaran diri. Dia akan kecewa dengan nasihat-nasihat dan teguran dari rekan-rekan rohaninya atau gembalanya. Demikian pula bagi Ayub, dia kecewa dengan sahabat-sahabatnya yang mengoreksi dirinya sebagai penyebab terjadinya masalah itu.  "Bukannya mendukung aku, malah berkata-kata yang membuat aku jengkel..", mungkin seperti itu yang dipikirkannya.

Ayub 6:10-30  Itulah yang masih merupakan hiburan bagiku, bahkan aku akan melompat-lompat kegirangan di waktu kepedihan yang tak kenal belas kasihan, sebab aku tidak pernah menyangkal firman Yang Mahakudus. … Saudara-saudaraku tidak dapat dipercaya seperti sungai, seperti dasar dari pada sungai yang mengalir lenyap, … Demikianlah kamu sekarang bagiku, ketika melihat yang dahsyat, takutlah kamu. Pernahkah aku berkata: Berilah aku sesuatu, atau: Berilah aku uang suap dari hartamu, atau: Luputkan aku dari tangan musuh, atau: Tebuslah aku dari tangan orang lalim?... apakah maksud celaan dari pihakmu itu? … Bahkan atas anak yatim kamu membuang undi, dan sahabatmu kamu perlakukan sebagai barang dagangan. Apakah ada kecurangan pada lidahku? Apakah langit-langitku tidak dapat membeda-bedakan bencana?

Ayub 6 menceritakan tolak ukur kebenaran dirinya bagaimana ukuran kesalehannya melakukan apa yang benar, yang tidak sekalipun ia melakukan hal-hal yang disebutkan dalam koreksi sahabat-sahabatnya, bahkan ia malah mengoreksi balik sahabat-sahabatnya , seakan-akan berkata bahwa mreka tidak berhak mengoreksi kehidupannya, karna kehidupan mreka tidak lebih baik dari hidupnya.  Bagaimana dengan kita? Tidak sepenuhnya nasihat dan koreksi itu benar mungkin, tapi relakah kita dikoreksi dan rela dipandang buruk oleh sekeliling kita. Apakah pertahanan kita adalah harga diri kita, tidak rela dipandang buruk, tidak rela dikucilkan atau dijauhi akibat pandangan buruk itu?  Tipu daya iblis ini sangat menjauhkan kita dari kasih karunia dan belas kasihan Allah. Kita akan hidup dibangun dalam pembenaran diri yang satu dengan yang lain, membuat benteng-benteng pertahanan jiwa yang sukar diremukkan oleh Kristus, sikap ini membuat hati kita keras, membuat kemerosotan rohani.

Mari cobalah belajar merenungkan dan membaca kitab Ayub secara keseluruhan pasal, temukanlah bagaimana respon manusia Allah ini di dalam masalah yang dialaminya. Namun perhatikanlah pribadi Allah yang mengawali dan mengakhiri kisah Ayub ini. Apakah Tuhan tidak tahu bahwa Ayub sesungguhnya seperti itu, kebusukan dan kejahatan hatinya. Apakah Tuhan tidak tahu bahwa ketika masalah itu tiba, Ayub akan merespon sejelek itu. Lalu mengapa Tuhan berkata kepada Iblis: "Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorang pun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan." Mengapa Tuhan memuji Ayub dan “membakar jenggot” iblis. Mungkin ini rahasia hati Tuhan yang tidak mau menjelekkan Ayub di hadapan iblis.. dan ini juga cara Tuhan untuk membongkar tipu daya iblis selama ini tersusun rapi dan tersembunyi di dalam Ayub.

Tuhan tidak pernah mempermalukan kita di hadapan musuh kita. Tuhan tahu ending dari perjalanan Ayub. Ayub benar-benar menerima pujian dan kemuliaan setelah ia selesai diproses Tuhan. Tuhan mengenal kedalaman hati kita yang jahat dan licik. Yeremia  17:9 Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?. Namun Tuhan sang maestro telah membuat ending kisah yang keren buat masing-masing kita dalam proses kehidupan. Jika tidak ada campur tangan Tuhan di awal dan di akhir, maka kisah Ayub hanya menjadi kisah keluh kesah, gerutuan, kutukan, kemarahan dan kekecewaan manusia kepada Tuhan dan sekelilingnya… sungguh membosankan. Jika demikian, saya akan berusaha melewatkan pembacaan kitab Ayub, namun ternyata Tuhan membuat kisah Ayub sebagai contoh kisah menarik seorang manusia yang memang dipertahankan oleh Tuhan dari awal ia diciptakan sampai kesudahannya. Contoh bagaimana Tuhan sangat memperhatikan anak-anak yang dikasihiNya, dididikNya dan dibersihkanNya dari segala tipu daya iblis yang tidak disadari olehnya. Amin.

Mari kita bongkar segala tipu daya iblis dalam hidup kita.. Caranya sangat licik dan licin begitu melekat dengan hati dan pikiran kita. Biarlah kita hidup sebagai Umat yang berkemenangan di dalam kekudusan dan takut akan Tuhan di akhir zaman ini. AMIN - 4 Mei 2013



0 comments:

Posting Komentar