Disadur dari buku yang ditulis oleh Ir. Eddy Leo, M.Th
CIRI#4—TIDAK TEPAT JANJI
- Perkataan seorang pria adalah ukuran dari karakternya.
- Perkataan anda membuktikan kepriaan anda, kepriaan anda membuktikan perkataan anda.
- Anak-anak tidak akan selalu mendengarkan anda, mereka akan selalu meniru anda.
Allah sangat memperhatikan firmanNya. Allah dan firmanNya adalah satu (Yoh 1:1). Yeremia 1:12 ”…Aku siap sedia untuk melaksanakan FirmanKu”. Allah memastikan firmanNya digenapi. Mengapa Nama Yesus bisa dipercaya? Karena apa yang Yesus katakan sudah digenapi olehNya. Itu sebabnya kita percaya terhadap Nama Yesus. Bahkan Dia menyertai perkataanNya dengan sumpah (Kel 6:8).
Seperti Allah sama dengan firmanNya, begitu juga pria sama dengan perkataanNya. Nama baik seorang pria tergantung pada penggenapan kata-kata pria tersebut. Semakin banyak penggenapan dari perkataan yang kita ucapkan, sebesar itulah kemaksimalan seorang pria. Berapa sering anda menepati janji anda ?
Sebagai seorang bisnisman, kita sering berkata di awal proyek, “Ya, saya akan kerjakan sampai akhir.” Ternyata di tengah jalan, proyek mengalami kerugian. Semangat kitapun hilang untuk menyelesaikan proyek. Kita tidak menyelesaikannya. Nama kita rusak, citra perusahaan kitapun rusak. Di lain hari, orang akan berkata: “Jangan lagi memakai kontraktor itu! Jangan lagi memakai supplier itu! Jangan lagi memakai orang itu!” Akibatnya, kita sendiri yang merasakan kerugiannya.
Hati-hati para ayah, apakah sering kita tidak menepati janji buat anak-anak kita ? Sehingga kita menggenapi Kolose 3:21.
Penyebab penceraian bukanlah perselingkuhan, bukan kesulitan ekonomi, tetapi penyebab perceraian terbesar adalah hilangnya respek istri terhadap suaminya, karena… sang suami tidak tepat janji. Bagi pria, suatu masalah janji kadang begitu kecil di hadapannya, tapi buat wanita itu adalah masalah besar. Pria kurang antisipasi dalam membuat keputusan. Kita sering membiarkan wanita membuat keputusan. Wanita tidak suka membuat keputusan. Pria tidak tepat janji; wanita ‘terpaksa’membuat keputusan. Amsal 6:1-5
CIRI#5—TIDAK BERTANGGUNG JAWAB
- Hakikat utama menjadi seorang ayah adalah mengajar anak-anaknya bertanggung jawab atas perbuatan mereka.
- Tanggung jawab seorang ayah bukanlah membuat keputusan bagi anak-anaknya, melainkan membiarkan anaknya melihat bagaiamana sang ayah membuat keputusan.
- Pria yang suka lari dari tanggung jawab dalam sepanjang hidupnya, akhirnya memiliki kebiasaan lari dari tanggung jawab.
- Tanggung jawab terhadap kesuksesan tergantung pada kemauan untuk bertanggung jawab terhadap kegagalan.
Dalam Kejadian 4, Hawa melahirkan seorang anak laki-laki, Kain. Kain dalam bahasa Ibraninya dikatakan sebagai seorang anak laki-laki yang sangat mulia. Waktu dia lahir, ibunya berkata, “Aku telah menerima seorang anak laki-laki dari Tuhan.” Laki-laki dalam bahasa Ibraninya adalah “ish” yang berarti bukan pria biasa. Ish adalah pria mulia, berkualitas tinggi(noble man). Ada kemungkinan Hawa sudah tidak bisa lagi melihat kepriaan yang maksimal dalam suaminya(Adam), sehingga dia rindu anaknaya menjadi maksimal. Tetapi jika anda membaca Alkitab tentang akhir dari kehidupan Kain, maka ia bukanlah seorang pria yang maksimal. Yudas 1:11a—Jalan Kain (The way of Cain) adalah penghambat kebangunan rohani terbesar. Kain memulai kegagalannya ketika dia mulai tidak bertanggung jawab. Ketika dia menjawab, “ Apakah aku penjaga adikku?” Itu sama halnya dengan perkataan seperti ini: Pertama: “Tuhan, jangan tanya saya, apakah saya harus bertanggung jawab untuk adikku?” Kedua: “Apakah saya harus bertanggung jawab terhadap Engkau?” – “Responsibility to somebody and Responsibility for somebody”. Kita tidak dapat menjadi pria sejati jika kita tidak memulai dari bertanggung jawab untuk melayani manusia.
Roh Kain adalah roh Humanisme pertama, yaitu orang yang suka berkata: “Sorry, aku tidak bertanggung jawab kepada siapa-siapa. Aku tidak bertanggung jawab kepada kamu, saya adalah saya.” Seorang pria yang terkena roh humanisme, pasti akan terus melarikan diri dari tanggung jawab. Kain terus melarikan diri, seandainya ia berkata, “Tuhan, aku salah”. Tuhan pasti mengampuni dia.
Hukuman yang dijatuhkan untuk pria setelah jatuh dalam dosa lebih besar dari wanita, meskipun yang jatuh pertama kali adalah wanita. Tuhan ingin mengajar seorang pria untuk sepenuhnya bertanggung jawab. Tetapi kenyataannya, banyak pria tidak mau bertanggung jawab. Jika Hawa jatuh, dampaknya kepada orang lain tidak terlalu besar. Tetapi, jika Adam jatuh, terkutuklah bumi karenanya. Produktivitas bumipun menurun. Ketika Kain tidak bertanggung jawab, maka produktivitas bumipun menurun lagi.
Hai para pria, jangan lari! Tuhan rindu agar setiap pria mau bertanggung jawab atas dosanya, perkataannya, tugas dan peranannya sebagai pemimpin.
CIRI#6—SUKA BERSEMBUNYI
- Krisis tidak akan membentuk karakter seseorang pria, krisis hanya akan mengungkapkan siapa dia sesungguhnya.
- Daripada melawan/ kabur, lebih baik gunakan krisis sebagai kesempatan untuk bertumbuh.
- Orang sukses melihat krisis sebagai kesempatan untuk berubah; dari yang kurang kepada yang lebih, dari yang kecil kepada yang lebih besar.
Seringkali seorang suami masih memakai topeng di hadapan istrinya. Tidak berani terbuka, tidak berani bercerita kepada istrinya. Pria seperti ini akan terus menderita sepanjang hidupnya dan tidak akan pernah mendapat apa-apa karena selalu bersembunyi.
“Hai Adam di manakah engkau?” Pria suka bersembunyi di karaoke atau di kamar mereka sambil menonton. Mereka bersembunyi di belakang bisnis mereka. Yang paling sering adalah pria bersembunyi dari kegagalannya dalam tanggung jawab. Adam bersembunyi dengan menyalahkan istrinya. Beberapa pria suka melemparkan tanggung jawab kepada orang lain.
Apabila seorang anak bertanya:” Pa, boleh nggak ikut camping?” Banyak pria menjawab:” Tanya mama!”. Karena itu Allah akan terus menerus mengajar pria bertanggung jawab. Tema hidup pria seumur hidupnya adalah BERTANGGUNG JAWAB.
CIRI#7—HANYA BERESPON TERHADAP PEMAKSAAN
- Pria yang belum dewasa adalah pria yang hanya berespon apabila dipaksa/ditekan.
- Tuhan tidak menciptakan manusia untuk menjadi diktator melainkan pemimpin.
Ketika orang tua ingin mengajar anaknya mencuci tangan, mereka akan langsung menuntun anaknya ke tempat cuci tangan. Mereka tidak perlu menjelaskannya secara rinci mengapa demikian. Ini yang dinamakan “Concrete Authority”, suatu bentuk pemaksaan. Itulah untuk anak berumur 0-5 tahun, tapi saat berumur 6-12 tahun harus diajar menerima prinsip-prinsip. Ajarlah anak kita, prinsip-prinsip kebenaran firman Tuhan sampai gudang moralnya menjadi penuh. Ajarlah dengan hikmat dan lemah lembut. Kemudian keesokan harinya, lakukan lagi hal yang sama terhadap anak kita. Jika kita hanya mengajarkan ketaatan saja tanpa prinsip-prinsip kebenaran , maka ketika anak kita besar, dia sudah tidak taat lagi. Ketika dia kecil, kita berkata “Kalau kamu taat, mama beliin permen”. Tetapi sesudah besar dia sudah tidak menginginkan permen lagi atau dia dapat membeli permen sendiri. Itulah sebabnya dia tidak mau taat lagi.
Karakter kita hari ini adalah hasil didikan dari orang tua kita. Seperti anak-anak muda sekarang yang sulit untuk duduk diam mendengar pengajaran lebih dari ½ jam; yang menginginkan segala sesuatu instan dan serba cepat.
Seorang pria saat diberitahu, “Jangan suka nonton video porno! Nanti pernikahan kamu rusak!”, dijawabnya demikian “Tidak apa-apa, kan sebentar saja!” Kemudian dia terus menonton, lalu akhirnya suka melihat internet porno. Akhirnya keluarganya mulai tidak harmonis, dia mulai merasa istrinya kurang seksi. Dia mulai membandingkan istrinya dengan wanita yang dia lihat di video dan internet. Istrinya mulai kepahitan; Istrinya mulai merasa bahwa dia itu bukan pribadi lagi melainkan seperti barang. Akhirnya ketika sang istri mengajukan surat cerai kepadanya dan mereka bercerai, si pria baru kapok dan menyesal. Jika seorang pria harus diajar dahulu sampai menyesal, “Aduh salah!”, dan selalu hanya berespon ketika dipaksa atau ditekan maka sifat tersebut adalah SIFAT ANAK-ANAK.
Banyak pria baru sadar setelah keluarganya hancur, hutang sana-sini, cerai. Banyak pria baru sadar untuk menjaga kesehatannya setelah sakit. Hanya bisa diajar saat sesudah kejadian, terjadi pemaksaan , tidak bisa diajar saat di awal dengan baik-baik. Itulah tanda ketidakdewasaan seorang pria. Tuhan mau kita bercermin, betapa sering sebagai pria tidak sadar bahwa kita punya problem. Kita tidak sadar bahwa kita belum dewasa. Karena itu, mari kita belajar menyadarinya. Selamat menjadi pria dewasa, pria sejati!.
Artikel yang berkaitan :
0 comments:
Posting Komentar